Tawuran Antarpelajar di KP3B: Komnas Anak Dorong Restorative Justice dan Keterlibatan Pemangku Kebijakan
Pascakejadian tawuran antar pelajar yang melibatkan siswa dari 3 (tiga) sekolah di Provinsi Banten yang terjadi di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten merespon kejadian tersebut dan berharap kejadian serupa tidak kembali berulang dan terjadi kembali.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten, Hendry Gunawan yang turut melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang terlibat tawuran tersebut, mendorong proses hukum yang dilakukan dengan mengedapankan upaya _restorative justice_ yang tetap memberikan efek jera dan rasa tanggung jawab bagi anak-anak yang terlibat dalam kejadian tersebut. Hasil pendampingan dan diskusi dengan Kapolresta dan juga Kasat Reskrim, anak-anak yang terlibat tawuran saat ini sudah dipindahkan ke ruangan tahanan yang terpisah dengan orang dewasa, dan karena saat ini mereka masih berstatus sebagai pelajar, hak Pendidikan mereka tetap diutamakan. Dalam proses pendampingannya komnas anak akan terus berupaya mendorong dan mendampingi hingga anak-anak mendapatkan putusan yang terbaik untuk masa depan mereka.
Hendry berharap peran pengawasan orang tua perlu diperkuat, karena dari fakta yang ditemukan di lapangan, anak-anak yang terlibat dalam kejadian tawuran tersebut berinisiatif membeli senjata tajam melalui situs jual beli online dan _urunan_ bersama teman-temannya.
Dalam penjelasannya, hendry menuturkan bahwa dalam mengendalikan tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur membutuhkan teknik dan strategi khusus dalam penanganannya dengan berlandaskan Peraturan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Penerapan Undang-undang SPPA ini merupakan salah satu bentuk kepedulian negara terhadap masyarakat khususnya para pelaku tindak pidana di bawah umur. Penetapan pidana terhadap anak-anak ini harus lebih mengedepankan _restorative justice_, rasa keinginan untuk bertanggung jawab, sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali.
Selain itu, Hendry juga menjelaskan bahwa Penyelesaian masalah tawuran remaja tak hanya jadi ranah aparat yang bertugas mencegah dan mengamankan pelaku tawuran, tapi juga pemerintah setempat. Perlu keterlibatan pemangku kebijakan dalam merespon kejadian yang melibatkan anak-anak saat ini. Selain itu, aksi tawuran ini sudah bisa dikategorikan sebagai bencana sosial karena berawal dari konflik, yang menyebabkan anak-anak terluka. Dan tentu saja penanganan bencana sosial diperlukan pendekatan yang berkelanjutan dan keterlibatan seluruh pihak yang punya keinginan yang sama agar kejadian serupa tidak selalu berulang di masa depan.
Pemerintah daerah tentu harus mulai mengidentifikasi wilayah, sekolah, dan kelompok remaja mana yang sering tawuran, dengan memberikan dorongan pembinaan melalui program pembinaan mental maupun kegiatan positif lainnya sehingga anak-anak memiliki alternatif cara untuk menunjukkan eksistensi diri. Semisal turut melibatkan anak-anak melalui kegiatan karang taruna atau bergabung dalam forum anak yang ada di masing-masing daerah. Karena karang taruna ada banyak kegiatan yang menguntungkan para remaja, tentu dengan dikelola dengan baik. Di karang taruna mereka bisa mendapat banyak ketrampilan, termasuk usaha. Dan juga dalam forum anak, bisa dibangun jiwa kepemimpinan dan rasa tanggungjawab di dalam diri anak.
*/De