Pandeglang-Globalmediatama.com, Ratusan petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Pandeglang menggelar aksi massa di Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Pandeglang dan Kantor Bupati Pandeglang siang tadi (08/03). Aksi ini digelar bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional.
Petani SPI menuntut ATR/BPN dan Pemkab Pandeglang serius mempercepat Reforma Agraria sebagai program prioritas pemerintah pusat, dengan menyelesaikan konflik agraria yang berada di Kecamatan Cibaliung, Cikeusik, Sobang, Cigeulis, Banjar, Picung dan daerah lainnya.
Ketua SPI Pandeglang Rohadi dalam orasinya menyampaikan konflik yang pertama terjadi di tanah seluas 3.500 Ha di Desa Cibaliung, Cibingbin, dan Cihanjuang dengan Perum Perhutani. Padahal secara bukti kepemilikan dan penguasaan fisik tanah tersebut milik petani, bukan kawasan hutan yang diklaim Perum Perhutani.
“Sesungguhnya lokasi ini sudah masuk kedalam SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (LHK) tentang Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan Nomor 698/MENLHK/SETJEN/PLA. 2/9/2021 tanggal 10 September 2021, dan SK Menteri LHK Nomor 287 tahun 2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK)”, ujar Rohadi
Kedua, konflik agraria di Kec. Cigeulis dan Kec. Sobang di tanah seluas 3.320 Ha yang telah diusulkan untuk diselesaikan melalui Tanah Obyek reforma Agraria (TORA) ke Kementrian LHK dan Kementerian ATR/BPN.
Rohadi melanjutkan, keadaan kami petani Kec. Cigeulis dan Kec. Sobang mengalami intimidasi berhari-hari dengan tindakan Perum Perhutani bersama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang menerapkan paksaan pembayaran, atau disebut mereka sistem sharing dengan besaran rupiah tidak wajar dan diduga kuat pungutan liar.
Ketiga, konflik di daerah Kecamatan Cikeusik, Desa Leuwibalang, Kp. Ciluluk, yang sudah menjadi permukiman dengan jumlah Kepala Keluarga kurang lebih 50 KK. Seluruh masyarakat bekerja sebagai petani lebih dari 25 tahun. Tiba-tiba pada tahun 2016, tanah petani diklaim masuk dalam kawasan hutan.
“Sejak saat itu, petani diintimidasi untuk membayar 50 kg gabah per kotak setiap musim panen. Jika tidak kami diancam akan digusur dan diusir oleh LMDH dan Perum Perhutani”, terang petani padi Cikeusik ini.
Sekretaris SPI Pandeglang Indra Bayu melanjutkan, konflik yang keempat berada di Desa Pasir Awi dan Desa Citalaha, Kec. Banjar seluas 53 ha dengan Hak Guna Bangunan (HGB) PT. Kadu Gedong Raya. Pada perjalanannya Kementerian ATR/BPN menetapkan HGB PT. Kadu Gedong Raya sebagai tanah terlantar.
“Kementerian ATR/BPN menetapkan tanah petani Banjar masuk kedalam Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang dijanjikan akan selesai tahun 2022. Namun sampai awal tahun 2023 ini belum juga ada kepastian tanah untuk petani. Kami menolak skema penyelesaian melalui Bank Tanah, kami menuntut penyelesaian melalui redistribusi tanah kepada petani yang merupakan pelaksanaan Reforma Agraria sebagai program prioritas Presiden Jokowi”, tegas Indra Bayu.
Kemudian konflik agraria yang kelima di Kp. Lasem dan Kp. Cimandahan, Desa Sobang, Kec. Sobang, seluas 85 Ha dengan jumlah masyarakat sebanyak 150 KK. Lokasi sudah menjadi permukiman dan tanah pertanian sejak puluhan tahun.
Menurut Bayu, meskipun demikian lagi-lagi tanah petani diklaim oleh Perum Perhutani. Tak pelak seperti yang terjadi dilokasi sebelumnya, petani terus mengalami intimidasi, didesak membayar pungutan, dan terancam akan digusur.
Senada dengan itu, Rofiqoh Kader Petani Perempuan SPI menyampaikan disaat konflik tanah belum selesai, beban petani semakin berat dengan Surat Edaran Badan Pangan Nasional (Bapanas) tentang Batas Atas Harga Gabah/Beras Petani. Edaran itu memuat Harga Batas Atas Gabah Kering Panen (GKP) hanya dihargai Rp. 4.550 per kg.
“Meskipun sudah dicabut kemarin (07/03/2022), dampak surat edaran Bapanas tersebut membuat harga gabah petani SPI di Pandeglang bagian selatan hanya berkisar Rp. 3.000 – 4.000 per kg. Angka ini sangat jauh dari biaya pokok produksi sebesar Rp. 5.050 per kg. Artinya kami petani rugi lebih dari Rp. 1.000 per kg dari setiap gabah yang dipanen”, tutur Rofiqoh yang juga petani padi ini.
Bersamaan dengan peringatan hari perempuan internasional ini, Rofiqoh dalam orasinya berharap Bupati Pandeglang Ibu Irna Narulita sebagai simbol pemimpin perempuan Pandeglang untuk berpihak kepada petani.
Kami SPI menyadari beragam masalah yang dihadapi petani disebabkan oleh Perppu Cipta Kerja. Peraturan ini menyebabkan tanah dimonopoli oleh Bank Tanah. Juga dalam kasus harga gabah dan beras yang diserahkan mentah-mentah ke mekanisme pasar.
Koordinator Aksi Sudarmawan mengungkapkan tuntutan kepada Bupati Pandeglang, Kepala Kantor Pertanahan ATR/BPN Pandeglang, dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) untuk segera menyelesaikan konflik agraria SPI secara adil.
“Kami mendesak GTRA Pandeglang dievaluasi secara total karena belum bekerja konkrit untuk meredistribusikan tanah kepada petani SPI. Kemudian menghentikan pungutan yang dilakukan Perum Perhutani dan menghentikan segala bentuk intimidasi kepada petani”, seru Sudarmawan
Sudarmawan menutup, kami SPI juga mendesak Pemerintah Pusat, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Pandeglang segera menaikkan harga gabah petani paling sedikit sebesar Rp. 5.600 per kg. Kemudian segera melayangkan protes kepada Pemerintah Pusat dan DPR RI agar mencabut Perppu Cipta Kerja.
(*/Ade)